Selasa, 11 Desember 2012

TUGAS TEKNIK INFORMATIKA



Buatlah artikel dengan judul: Computer Applications
Sub Judul :
1.        Different ways in the use of a computer.
2.        Future developments managerial and professional people will need to be aware of.
3.        The important to the engineers.
4.        When machine do not work property.
5.        The problems a publisher face when he decides to invest in the development of new software.
6.        Types of occupation benefit from the use of a computer

Jumat, 16 November 2012

KISI KISI VOCABULARY

KISI-KISI VOCABULARY

1. PENGERTIAN NEW WORD
2. SUFFIXES AND PREFIXES
3. UNCOUNTABLE AND COUNTABLE NOUNS
4. VOCABULARY AIDS TO LEARNING

KISI-KISI INSTRUCTIONAL DESIGN

1. PENGERTIAN INSTRUKSIONAL SEBAGAI SUATU SISTEM
2. PRINSIP-PRINSIP INSTRUKSIONAL BERDASARKAN TEORI BELAJAR
3. PENGERTIAN PENGEMBANGAN INSTRUKSIONAL
4. KOMPONEN GBPP
5. RPP

Selasa, 30 Oktober 2012

TUGAS BAHASA INGGRIS SMT 1 TEKNIK INFORMATIKA
BUATLAH ARTIKEL DENGAN JUDUL :
TELECOM OPERATORS ON THE MOVE



Minggu, 22 Juli 2012

MENGAPA 78 % UMATISLAM MENGALWALI RAMADHAN 1433 H PADA 20 JULI 2012 ? ( Sekedar untuk bahan amalan dalam menambah ilmu dan wawasan dan sekaligus untuk bacaan ngabuburit, menjelang Buka Puasa/Shaum )

Jadi, Umm al-Qura University (UaQU) sebetulnya telah menyusun kalender Islam dan telah dipublikasikan beberapa tahun yang lalu. Kriterianya yang paling baru adalah ternyata “wujudul hilal” dan sangat sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam Al Qur'an Surat Ya Sin: 38-40.

Dalam kalender tersebut, 1 Ramadan 1433 lalu telah ditetapkan bertepatan dengan 20 Juli 2012. Kepastian ini kemudian disyahkan oleh Majlis al-Qada al-A‘la dalam sidangnya di Taif karena ada saksi yang bersumpah melihat hilal. Padahal beberapa data astronomi ketinggian hilal pada maghrib 19 Juli 2012 lalu yang dicatat untuk beberapa kota di Arab Saudi adalah sebagai berikut (data diambil dari Accurate Times, dalam satuan derajat):

Jeddah: 1.3
Mekah: 0.9
Madinah: 0.9
Taif: 1.3
Riyadh: 0.7

Kota2 yang lain belum dilihat, tapi diperkirakan di seluruh wilayah Arab Saudi akan berada di bawah 2 derajat. Di beberapa kota malah jauh di bawah 2 derajat. Dengan demikian, beberapa catatan penting yang harus dikemukakan di sini adalah:

Tidak betul bahwa kriteria wujudul hilal adalah kriteria yang usang seperti yang dikampanyekan oleh seorang ahli astronomi Indonesia. Kalau melihat perkembangan kriteria yang dikembangkan oleh UaQU, justru kriteria imkan rukyat adalah yang usang dan telah ditinggalkan hamper 40 tahun lalu.
Kriteria minimum 2 derajat itu ternyata tidak memiliki dasar. Kalau memang Rasul menghendaki ini, mengapa beliau tidak memberikan batasan ketinggian Bulan “sepenggalah” seperti minimum ketinggian Matahari sebagai syarat sholat dhuha? Mengapa umat Islam berani menambahi syarat minimum 2 derajat?

Beberapa organisasi besar seperti Islamic Society of North America (ISNA), Fiqh Council of North America (FCNA), dan European Council for Fatwa and Research (ECFR) yang dipimpin oleh ulama besar Mesir Prof. Yusuf Qaradawi dan banyak lagi (di 47 negara atau 61%) menyatakan “follow Saudi”.

Siapakah ISNA dan FCNA?

Dr. Shaukat yang memimpin moonsighting.com (lihat tulisan seri pertama) dulunya adalah konsultan bagi ISNA dan FCNA ketika mereka memulai proyek eksperimen untuk melakukan rukyatul hilal di Amerika Utara (AS dan Kanada). Proyek ini dilakukan pertama kali pada 1994 dengan menyebar sekitar 2000 relawan perukyat ke seluruh Amerika Utara setiap bulan untuk melakukan rukyat. Harapannya, dengan hasil rukyat akan dapat disusun sebuah database model untuk kehadiran hilal berdasarkan rukyah. Sementara itu, ISNA dan FCNA terus dikejar oleh keperluan memperjuangkan agar umat Islam di Amerika memperoleh hak libur untuk melaksanakan ibadahnya (missal: sholat Iedul Fitri).

Katakanlah ada 200 pekerja Islam di Boeing, 300 di Microsoft, dan ribuan lagi di industri yang lain, atau bahkan di pemerintahan Amerika. Saat mereka meminta izin libur terkait dengan Iedul Fitri, mereka selalu ditolak karena:

Pertama, permintaan izin dilakukan beberapa minggu atau bulan sebelumnya.
Kedua, tidak ada kepastian tanggalnya karena kepastian hanya dapat dipeoleh ketika hilal telah kelihatan.

Bagaimana mungkin di sebuah organisasi modern dengan jadwal delivery produk yang sangat ketat, tiba2 ratusan orang minta libur dengan mendadak, dan tidak pasti hari dan tanggalnya?

Setelah 13 tahun melakukan riset ekperimental rukyatul hilal ini, maka pada 13 Agustus 2006, FCNA mengeluarkan fatwa bahwa kalender Islam harus dibuat berdasarkan perhitungan astronomi, dan kriteria yang dipakai adalah wujudul hilal, persis seperti yang dimiliki oleh UaQU. Jadi sangat wajar kalau ISNA dan FCNA kemudian menyatakan “follow Saudi” meskpun mereka memiliki hasil perhitungan sendiri yang sama akuratnya dengan hasil UaQU.

Ketika fatwa FCNA ini dikeluarkan, muncullah hujatan dari seluruh penjuru dunia dengan mengatakan: “ini Fatwa Syetan”, dll. FCNA tidak bergeming dan terus mengkampanyekan pentingnya kalender Islam untuk kehidupan umat Islam Amerika sampai sekarang.

Dan jerih payah ISNA dan FCNA ini telah berbuah manis dengan diakuinya Ramadan sebagai bulan suci umat Islam oleh Kongres Amerika pada 5 September 2007, hanya setahun setelah fatwa FCNA yang dihujat sebagai "Fatwa Syetan" itu. Ini merupakan langkah penting dalam sejarah umat Islam di Amerika (lihat gambar).

Jadi kepastian hukumlah sebetulnya sumber persatuan. Persatuan dengan pemaksaan kehendak oleh penguasa seperti hasil sidang Istbat hanyalah persatuan yang semu.

Pertanyaannya, mengapa justru Indonesia tidak belajar saja dari kegagalan dan keberhasilan sudara2 kita seperti di Amerika ini? Mengapa malah kita kemudian kembali ke square one. Padahal tingkat kesulitan melihat hilal di negara tropis seperti Indonesia akan jauh lebih tinggi. Akankah kita menghabiskan waktu puluhan tahun untuk sampai pada suatu kesimpulan seperti ISNA dan FCNA: tidak mungkin memperoleh kepastian penyusunan kalender Islam dengan rukyah.

Jadi pada pendapat saya, perpecahan umat Islam itu justru karena tidak adanya kepastian kalender Islam, yang berarti tidak ada kepastian hukum. Dan penyebabnya karena kita ngotot untuk merukyah. Saya tidak tahu apa landasan hukum yang mendasari Departemen Agama untuk melakukan Sidang Istbat ini? Kalender adalah domain hukum, bukan domain kebijakan publik. Mengapa eksekutif mengambil posisi untuk menentukan sesuatu yang di luar domain kekuasaannya? Jadi sebelum ada masyarakat yang mem PTUN kan Departemen Agama, sebaiknya sidang Istbat itu dihentikan saja. Jikapun telah ada landasan hukumnya, masyarakat tetap dapat mengajukan uji materi atas perundangan ini ke Mahkamah Konstitusi, demi menghindari power abuse

Senin, 16 Juli 2012

Ilmu Hisab menurut Al Qur'an dan Hadist

Rasulullah saw Mengajarkan Ilmu Hisab

Berbicara mengenai ru'yat sebagai suatu dalil yang bisa digunakan untuk penetapan waktu-waktu ibadah boleh dikatakan semua orang muslim memahaminya dalam tataran konsep.Walaupun dalam tataran praktis penggunaan hisab bukanlah hal yang baru, apalagi untuk penetapan waktu-waktu shalat. Hampir bisa dikatakan bahwa kita tidak bisa lepas dari yang namanya hisab. Hal ini bisa dibuktikan dari hampir selalu adanya jadwal waktu-waktu shalat di masjid-masjid maupun mushalla-mushalla yang kita jumpai. Demikian pula halnya dengan keberadaan kalender hijriyah yang secara praktis merupakan produk hisab, masih bisa diterima di seluruh lapisan muslim. Sedikit berbeda ketika berhubungan dengan penetapan awal dan akhir Ramadhan dan awal Dzulhijjah, perbedaan mengemuka di kalangan ummat dengan kepentingannya dan argumentasinya sendiri-sendiri. Secara garis besar terdapat tiga faham yang berbeda dalam penetapan penanggalan Islam:

F Hanya menggunakan ru'yat khususnya untuk bulan-bulan 'ibadah.

F Menggunakan ru'yah, dan hisab digunakan untuk validasi kebenaran kesaksian ru'yat

F Hisab dapat digunakan secara mandiri untuk penetapan penanggalan dan waktu-waktu 'ibadah lainnya.

Kelompok-kelompok yang ada tersebut tidak ada yang menolak mengenai sahnya penetapan penanggalan dengan ru'yat, hanya saja bagi yang bermadzhab hisab, hisab memiliki lebih banyak aspek mashlahatnya karena lebih memberikan kepastian mengenai posisi hilal yang menjadi dasar penetapan penanggalan Islam. Sementara bagi penganut ru'yat, ru'yat hilal merupakan aspek ta'abbudi yang harus diikuti untuk mengawali dan mengakhiri bulan-bulan 'ibadah.

Namun bila dinyatakan bahwa hisablah sebenarnya yang dianjurkan Islam untuk penetapan waktu-waktu 'ibadah mungkin banyak orang yang mempertanyakannya termasuk mungkin bagi mereka yang menggunakan hisab.

Hisab sesuai Sunnatullah

Ilmu hisab falak adalah ilmu yang diajarkan Allah kepada hamba-Nya secara langsung, sekaligus sebagai bukti al-Qur'an kalam Allah bukan buatan Muhammad seorang yang ummi sebagaimana yang dituduhkan sebagian orang-orang kafir, sekaligus sebagai bukti kebenaran berita al-Qur'an yang merupakan mu'jizat sepanjang zaman. Dalil-dalil ini di antaranya:

الرحمن علم القرءان خلق الإنسان علمه البيان الشمس والقمر بحسبان (الرحمن:1-5)

(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al Qur'an. Dia menciptakan manusia, Mengajarnya pandai berbicara. Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.

هو الذي جعل الشمس ضياء والقمر نورا وقدره منازل لتعلموا عدد السنين والحساب ما خلق الله ذلك إلا بالحق يفصل الآيات لقوم يعلمون(يونس:5)

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui

Pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa ilmu hisab bukan sebagai ilmu Islam justru bertentangan dengan banyak dalil dari al-Qur'an, dan jelas suatu pendustaan terhadap firman Allah.

Pandangan sebagian ulama terdahulu yang menentang hisab terutama muncul dari kalangan mereka yang kurang memahami Ilmu ini dan mengabaikan firman-firman Allah dalam al-Qur'an mengenai hisab dan ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian diikuti fara muqallidin dari kalangan ulama khalaf yang mengikuti pendahulunya dengan menisbahkannya sebagai sunnah. Inilah yeng menjadi akar timbulnya pertentangan di kalangan ummat karena mereka telah meninggalkan Al-Qur'an dan Sunnah Rasul.

Sikap penolakan terhadap ilmu hisab khususnya untuk penetapan bulan-bulan 'ibadah terutama dilatarbelakangi oleh:

Ketidak-fahaman sebagian ulama (bukan ahli hisab) tentang hakikat ilmu hisab dan menganggapnya sebagai ilmu meramal yang tidak bisa mencapai derajat yakin.
Adanya anggapan bahwa ilmu hisab sebagai bagian dari ilmu peramalan nasib dengan bintang yang ditentang Islam, sehingga haram menggunakannya.
Ketidak-fahaman para penentang hisab yang menganggap hisab sama-sekali lepas dari ru'yat dan menyalahi sabda-sabda Rasulullah tentang penetapan penanggalan Islam terutama bulan-bulan 'ibadah.

Alasan-alasan di atas dengan jelas ditentang oleh Allah seperti dalam dalil-dalil tersebut di atas, yang menyatakan bahwa sifat 'bi-husbaan' merupakan sunnatullah yang sama sekali berbeda dengan ilmu meramal nasib oleh para ahli nujum (astrologi), bahkan mendalami astronomi sangat dianjurkan oleh Allah Ta'ala.

Penolakan terhadap ketetapan Allah ini jelas-jelas merupakan kekufuran terhadap ayat-ayat Allah yang tidak mungkin dilakukan oleh generasi awal ummat ini, dengan demikian terbantahlah anggapan bahwa telah adanya ijma' dari generasi awal ummat bahwa mereka menolak hisab. Yang benar adalah mereka belum menguasai ilmu hisab falak sehingga mereka tidak sepenuhnya menggunakannya, sebagaimana yang akan kita bahas berikut ini.

Anggapan bahwa ilmu hisab sebagai bagian dari ilmu peramalan nasib dengan bintang yang ditentang Islam, sehingga haram menggunakannya sama sekali tidak bisa dipertanggung-jawabkan dan bertentangan dengan firman Allah bahwa itu merupakan ketetapan-Nya yang haq (sunatullah) dan sama sekali tidak sama dengan ilmu ramalan bintang. Pendapat ini muncul dari kebodohan orang tentang ilmu ini dan enggan untuk mentafakuri ayat-ayat Allah tentang alam semesta, sebagaimana tersebut dalam firman Allah

إن في خلق السموات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب(190)الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والأرض ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار (أل عمران: 191)

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka."

Anggapan bahwa hisab sama-sekali lepas dari ru'yat dan menyalahi sabda-sabda Rasulullah tentang penetapan penanggalan Islam jelas suatu pendapat yang sangat keliru, karena ilmu hisab falak ini lahir dari serangkaian penelitian data-data ru'yat yang dilakukan selama periode yang panjang bahkan dari generasi ke generasi, serta melalui tahap ujicoba dan analisis yang cermat sehingga ditemukan formulasi hisab, yang akurat dan teruji dengan baik.

Al-Qur'an menekankan Hisab untuk Penentuan Penanggalan

Landasan penanggalan kalender Islam (kalender hijriyyah) ditetapkan langsung oleh Allah dalam al-Qur'an dalam beberapa ayat yang terpisah-pisah.

إن عدة الشهور عند الله اثنا عشر شهرا في كتاب الله يوم خلق السموات والأرض منها أربعة حرم ذلك الدين القيم فلا تظلموا فيهن أنفسكم وقاتلوا المشركين كافة كما يقاتلونكم كافة واعلموا أن الله مع المتقين (التوبة:36)

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.

Berdarakan ayat di atas, Allah Ta’ala mengajarkan kepada kita bagaimana kalender Islam seharusnya dibangun yang berbeda dengan kalender luni-solar yang sebelumnya digunakan oleh Arab pra Islam. Kalender Arab pra-Islam adalah kalender qamariyah yang disesuaikan dengan periode pergantian musim tahunan, sehingga setelah periode tertentu, satu tahun ada penambahan satu bulan untuk menyesuaikan dengan musim tahunan. Bulan tersebut dikenal dengan bulan Nasi. Dan oleh Islam kebiasaan tersebut dibatalkan. Selanjutnya Allah berfirman:

إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ زُيِّنَ لَهُمْ سُوءُ أَعْمَالِهِمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ(التوبة:37)

Sesungguhnya an-nasi’ (mengundur-undurkan bulan haram) itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.

Allah juga menegaskan bahwa wujud hilal-lah yang menjadi batas-batas berawal dan berakhirnya suatu bulan, yaitu hilal yang dapat disaksikan di akhir setiap bulan. Dan oleh karena pergantian hari kalender Islam adalah maghrib maka hilal tersebut adalah hilal yang muncul bersamaan dengan terbenamnya Matahari. Allah berfirman:

يسألونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس والحج (البقرة:189)

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji

Allah menjelaskan suatu fenomena sekaligus mengajarkan bahwa Matahari dan bulan beredar mengikuti perhitungan.

الرحمن علم القرءان خلق الإنسان علمه البيان الشمس والقمر بحسبان (الرحمن:1-5)

(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan al-Qur'an, Yang telah menciptakan manusia, Yang mengajarinya ilmu pengetahuan. Matahari dan bulan beredar mengikuti perhitungan.

Bahkan Allah menjelaskan bahwa sebagai akibat dari peredaran tersebut, fase-fase bulan terbentuk dan membentuk siklus bulanan. Allah berfirman:

وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ(يس: 39)

Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.

Fase dari hilal pertama ke hilal berikutnya dari satu siklus itulah yang dinamakan satu bulan. Allah Ta’ala menjelaskan bahwa terbentuknya fase-fase tadi merupakan suatu ketetapan Allah yang semuanya bisa diukur, bisa dihitung dan dengannyalah Allah mengajarkan ilmu bagaimana menghitung tahun dan menghisabnya kepada kita.

هو الذي جعل الشمس ضياء والقمر نورا وقدره منازل لتعلموا عدد السنين والحساب ما خلق الله ذلك إلا بالحق يفصل الآيات لقوم يعلمون إن في اختلاف الليل والنهار وما خلق الله في السموات والأرض لآيات لقوم يتقون(يونس:5-6)

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa.

Allah menjelaskan dengan itu bukti-bukti kebenaran firmanNya, bahwa al-Qur'an adalah kalamullah mustahil dibuat oleh Muhammad saw seorang yang ummi melainkan semata-mata wahyu Allah yang diterimanya dan disampaikannya kepada ummatnya apa adanya.

Bukti-bukti ini memang pada masa-masa awal Islam belum bisa dipahami sepenuhnya oleh kaum muslimin karena kebanyakan dari mereka adalah kaum yang ummi, namun al-Qur'an adalah mu’jizat sepanjang zaman yang akan membatalkan setiap tuduhan siapapun yang mengatakan al-Qur'an buatan Muhammad. Dan bukti-bukti ini telah terbukti bagi kita sekarang. Lalu apakah kita masih akan ragu dengan kebenaran al-Qur'an? Inilah mungkin rahasia yang terungkap dari turunnya ayat al-Qur'an surat Ali Imran 190-191.

إن في خلق السموات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب(190)الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والأرض ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار (أل عمران:191)

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka."

Dalam suatu riwayat dijelaskan setelah turun ayat ini Rasulullah terus menerus menangis sepanjang malam bahkan ketika Rasulullah melaksanakan shalat malam, hingga ketika waktu shubuh datang dan Rasulullah belum hadir Bilal mengunjunginya dan menanyakannya apa gerangan yang membuat seorang Rasul yang ma’shum menangis. Rasulullah menjawab turunnya ayat inilah yang membuatnya menangis. Lantas beliau mengatakan celakalah orang yang membacanya tapi tidak mau mentafakurinya.

Rasulullah Mengajarkan Prinsip-prinsip Dasar Hisab

Penggunaan hisab ini sebagai dalil penentuan penanggalan qamariyah maupun waktu-waktu ibadah lainnya ditetapkan dan dijamin oleh Allah, namun kaum muslimin saat itu bukanlah orang-orang yang bisa menghisab bulan. Pengetahuan ilmu hisab belum berkembang saat itu dikalangan kaum muslimin. Perhitungan yang dikenal dan dikuasai umumnya sebatas perhitungan-perhitungan sederhana yang biasa digunakan dalam transaksi jual-beli, takar-menakar, dan sebagainya. Untuk menentukan waktu harian mereka biasa melihat posisi Matahari; dan untuk menentukan penanggalan, mereka melihat posisi dan fase bulan. Praktek ru’yat ini merupakan praktek yang sudah terbiasa dikalangan bangsa Arab pra Islam, tidak ada yang asing dalam hal bagaimana meru’yat hilal, dan memahami perubahan fase-fase bulan. Mereka bisa secara langsung memprediksi tanggal berapa hanya dari melihat posisi dan fase bulan yang muncul.

Rasulullah menyampaikan sesuatu yang baru dalam menetapkan penanggalan dalam Islam sesuai ketentuan Allah. Beliau mengoreksi sistem penanggalan era pra-Islam yang mengenal adanya bulan ke-13 pada tahun-tahun tertentu dan menetapkan hanya ada 12 bulan dalam satu tahun sebagaimana telah dijelaskan di muka. Beliau juga menjelaskan dan memperkenalkan hisab secara sederhana dan bertahap tanpa secara langsung meninggalkan ru’yat. Apa yang dijelaskan Rasulullah adalah membimbing kaum muslimin bagaimana memahami hisab secara sederhana dengan menekankan pada kaidah-kaidah dasar yang harus dipenuhi, yang bisa dijadikan rujukan baik bagi kalangan awam maupun para ulama Islam berikutnya.

Berikut ini di antara dalil-dalil yang menceritakan panduan-panduan yang diajarkan Rasulullah untuk menghisab bulan.

وحدثني زهير بن حرب حدثنا إسماعيل عن أيوب عن نافع عن بن عمر رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم إنما الشهر تسع وعشرون فلا تصوموا حتى تروه ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدروا له ( مسلم )

وحدثني حميد بن مسعدة الباهلي حدثنا بشر بن المفضل حدثنا سلمة وهو بن علقمة عن نافع عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم الشهر تسع وعشرون فإذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فاقدروا له ( مسلم )

Dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar ra, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya satu bulan itu 29 (hari), maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihatnya dan janganlah kamu berbuka sehingga melihatnya, maka jika terhalang atasmu maka perkirakanlah ia. (Muslim)

حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا أبو أسامة حدثنا عبيد الله عن نافع عن بن عمر رضي الله عنهما ثم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر رمضان فضرب بيديه فقال الشهر هكذا وهكذا وهكذا ثم عقد إبهامه في الثالثة فصوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن أغمي عليكم فاقدروا له ثلاثين

وحدثنا بن نمير حدثنا أبي حدثنا عبيد الله ثم بهذا الإسناد وقال فإن غم عليكم فاقدروا ثلاثين نحو حديث أبي أسامة ( مسلم )

وحدثنا عبيد الله بن سعيد حدثنا يحيى بن سعيد عن عبيد الله بهذا الإسناد وقال ثم ذكر رسول الله صلى الله عليه وسلم رمضان فقال الشهر تسع وعشرون الشهر هكذا وهكذا وهكذا وقال فاقدروا له ولم يقل ثلاثين ( مسلم )

Dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar ra, ia berkata, kemudian Rasulullah saw menyebut Ramadhan memberi isyarat dengan kedua tangannya kemudian bersabda: “Satu bulan itu begini, begini dan begini kemudian nabi melipat jempolnya pada yang ketiga, maka berpuasalah kamu karena melihatnya dan berbukalah kamu karena melihatnya, maka jika terhalang atasmu maka perkirakanlah 30. Di riwayat lain dari Ubaidillah dengan isnad ini kemudian Rasulullah saw menyebut Ramadhan kemudian beliau bersabda: “Satu bulan itu 29, satu bulan itu begini, begini dan begini dan berkata maka perkirakanlah baginya, dan beliau tidak menyebut 30. (Muslim)

وحدثني عن مالك عن عبد الله بن دينار عن عبد الله بن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ثم الشهر تسعة وعشرون فلا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدروا له ( مالك )

Dari Ibn Dinar dari Abdullah bin ‘Umar ra, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda: “Kemudian satu bulan itu 29 (hari), maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal dan janganlah kamu berbuka sehingga melihatnya, maka jika terhalang atasmu maka perkirakanlah ia. (Malik)

Hadits-hadits tersebut mengajarkan bagaimana prinsip-prinsip hisab dibangun, sekaligus Rasulullah menjelaskan mengenai apa yang difirmankan Allah dalam al-Qur’an:

Dasar lamanya satu bulan adalah 29 hari.

Dalam banyak hadits yang shahih Rasulullah mengatakan bahwa satu bulan adalah 29 hari (malam). Pengenalan ilmu hisab pertama dari Rasulullah. Bahwa satu bulan cukup menghitung 29 hari dari saat pertama terlihatnya hilal tanpa harus mengamati perubahan fase bulan dari hari-ke hari. Hilal baru tidak mungkin muncul di hari-hari kurang dari itu. Dan ini merupakan batas minimal satu bulan yang diajarkan Rasulullah, selanjutnya:

Yakinkan wujudnya hilal pada akhir hari ke-29 (saat ghurub), jika hilal diyakini ada maka tetapkanlah lama bulan 29 hari.
Jika wujud hilal pada saat itu dipastikan tidak ada maka tetapkanlah hitungan bulan 30 hari.

Kaidah ini merupakan kaidah hisab praktis yang dapat dengan mudah diterima oleh kaum muslimin, karena sesuai dengan realita. Jika pada akhir tanggal 29 hilal dipastikan tidak wujud, maka dapat dipastikan bahwa keesokan harinya sudah jauh di atas ufuk, walaupun mendung menghalangi pandangan. Dengan demikian tidak diperlukan lagi adanya ru'yat, cukup hisablah bulan 30. Dan tentunya kesimpulan ini didukung oleh bukti-bukti ru'yat yang cukup panjang.

Meyakinkan wujudnya hilal dengan hisab bukanlah hal yang sulit, namun dalam kondisi awal-awal Islam kaum muslimin boleh dikata belum menguasai ilmu hisab, kemampuan ilmu hisab hanya terbatas penjumlahan dan pengurangan sederhana yang sering dipakai dalam transaksi jual beli atau takar menakar. Bahkan alat ukur waktu seperti yang ada sekarang belum pernah diberitakan ada semua dibaca dari tanda-tanda alamiah alam, sehingga diperlukan suatu kaidah transisi, yang diajarkan Rasulullah yang kemudian diceritakan dan atau disampaikan para sahabat apa adanya atau sesuai pemahaman mereka.

Jika pada akhir hari ke-29 (saat ghurub) hilal tidak terlihat (tidak wujud) karena terhalang, maka yakinkanlah akan wujudnya hilal, dan tetapkan hitungan 30 hari saat wujud hilal tidak bisa dibuktikan (tidak ada berita kesaksian hilal).

Pernyataan ini menolak anggapan bahwa penghalang menjadi illat hukum ikmal jumlah hari menjadi 30, karena illat hukumnya sendiri adalah wujud hilal (diyakini wujudnya hilal). Dan ini sesuai kaidah ushul:

الحكم يدور مع علته وجودا و عدما

“Hukum berjalan sesuai ‘illatnya ada dan tiada.”

Wujud hilal itulah yeng menjadi illat hukum ditetapkannya tanggal baru, bukan mendung sebagaimana difahami sebagian orang. Kaidah ikmal menjadi tiga puluh hari saat mana hilal diyakini belum wujud pada akhir tanggal 29 adalah sejalan dengan kaidah ushul ini, karena bila pada tanggal 29 hilal tidak wujud naka dapat dipastikan bahwa hilal wujud pada tanggal 30 walaupun pandangan kita terhalang untuk melihatnya. Argumentasi bahwa wujud hilal sebagai illat hukum ditetapkan awal bulan sesuai dengan firman Allah Ta'ala:

يسألونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس والحج (البقرة:189)

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji

Dan ini secara praktis diakui oleh kaum muslimin bahwa terhalangnya pandangan dari segolongan besar muslim akan melihat hilal gugur manakala ada kesaksian walaupun sebagian kecil tentang adanya hilal. Dengan demikian sesungguhnya yang menjadi ijma' di kalangan shahabat adalah wujud hilal sebagai dalil ditetapkannya awal bulan, dan bukan melihatnya itu sendiri. Dan ini sesuai dengan firman Allah di atas. Dari uraian ini maka akan jelaslah makna firman Allah Ta'ala:

فمن شهد منكم الشهر فليصمه

"Maka barang siapa di antara kami menjadi syahid (datangnya) bulan maka hendaklah ia berpuasa."

Makna syahid berdasarkan banyak dalil lebih mengarah kepada pengetahuan dan keyakinan dan bukan kepada kesaksian dengan mata. Dan keyakinan datangnya bulan bisa diketahui dengan melihat langsung, dengan kesaksian orang lain atau dengan hisab sebagaimana yang difirmankan Allah dalam al-Qur'an. Coba perhatikan bagaimana Rasulullah menuntun para sahabatnya yang ummi untuk bisa menghisab dengan mengajarkan bahwasanya satu bulan 29 hari tanpa harus mengamati perubahan fase bulan dari hari ke hari, kemudian apa yang kemudian difahami para sahabat tentang menghisab atau menetapkan hitungan 30 saat sama sekali hilal tidak bisa disaksikan mata pada akhir tanggal 29.

Dan dengan penggunaan hisab prediksi wujudnya hilal lebih bisa dipastikan daripada dengan ru’yat dan inilah yang disinyalir dalam al-Qur’an:

هو الذي جعل الشمس ضياء والقمر نورا وقدره منازل لتعلموا عدد السنين والحساب ما خلق الله ذلك إلا بالحق يفصل الآيات لقوم يعلمون

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.

Berdasarkan ayat ini Allah memberitakan bahwa Dia telah menetapkan fase-fase bulan dan memungkinkan untuk menghisabnya. Sehingga fase-fase hilal tersebut sebenarnya bisa dihitung untuk menetapkan apakah hilal sudah ada atau belum. Ayat inipun memberi indikasi bahwa ilmu hisab tidaklah lahir dengan sendirinya tetapi melalui proses yakni proses ru'yat dan pencatatan data-data ru'yat yang Selanjutnya dianalisis, diuji dan diformulasikan sehingga dihasilkan formulasi hisab seperti yang ada sekarang. Namun kaum muslimin saat itu adalah kaum tidak menguasai ilmu hisab, sehingga untuk meyakinkan hadirnya hilal dimintailah kesaksian orang-orang dari daerah-daerah sekitar tentang tampaknya hilal pertama tadi. Di satu daerah bisa jadi berkabut, mendung atau karena halangan-halangan lainnya sehingga hilal tidak bisa disaksikan, namun di daerah-daerah lainnya yang berdekatan bisa jadi hilal bisa dilihat. Dan kesaksian inilah yang diakui. Ini menggambarkan bahwa begitu ada halangan melihat hilal tidak serta merta satu bulan dihitung menjadi 30, tapi menunggu kepastian ada tidaknya hilal dari hasil penglihatan orang-orang lainnya. Hal inilah bisa jadi rahasia mengapa Allah menekankan hisab, karena kemampuan melihat seseorang bisa terhalang oleh berbagai hal seperti lokasi, mendung, debu dan sebagainya.

Berkaitan ini saya nukilkan beberapa riwayat yang menggambarkan fenomena ini:

Dari Ibnu Umar Radiyallahu 'anhu, ia berkata : “Manusia mencari-cari hilal, maka aku kabarkan kepada Nabi bahwa aku melihatnya, maka Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pun menyuruh manusia berpuasa.” (HR Abu Daud (2342), Ad Darimi (2/4), Ibnu Hibban (871), Al Hakim (1/423), Al Baihaqi (4/212), dari dua jalan, yakni dari jalan Ibnu Wahb dari Yahhya bin Abdullah bin Salim dari Abu Bakar bin Nafi’ dari bapaknya dari Ibnu Umar, sanadnya hasan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At Talkhisul Habir (2/187)[i].

Dikisahkan ketika seorang Arab Badui melapor kepada Nabi bahwa ia menyaksikan hilal, maka Nabi menerimanya padahal ia berasal dari daerah lain dan Nabi juga tidak minta penjelasan apakah mathla’-nya berbeda atau tidak. (Majmu’ Fatawa, 25/103) Hal ini mirip dengan pengamalan ibadah haji jaman dahulu di mana seorang jamaah haji masih terus berpegang dengan berita para jamaah haji yang datang dari luar tentang adanya ru’yah hilal. Juga seandainya kita buat sebuah batas, maka antara seorang yang berada pada akhir batas suatu daerah dengan orang lain yang berada di akhir batas yang lain, keduanya akan memiliki hukum yang berbeda. Yang satu wajib berpuasa dan yang satu lagi tidak. Padahal tidak ada jarak antara keduanya kecuali seukuran anak panah. Dan yang seperti ini bukan termasuk dari agama Islam. (Majmu’ Fatawa, 25/103-105)[ii]

1993 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّارِ بْنِ الرَّيَّانِ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ يَعْنِي ابْنَ أَبِي ثَوْرٍ ح و حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ يَعْنِي الْجُعْفِيَّ عَنْ زَائِدَةَ الْمَعْنَى عَنْ سِمَاكٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رَمَضَانَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا *(أبو داود)

Fenomena di atas menjelaskan bahwa kepastian hilal yang dilakukan melaui ru’yat perlu dikonfirmasi dengan kesaksian-kesaksian yang lainnya untuk mendapatkan informasi yang meyakinkan tentang wujudnya hilal. Sehingga untuk kasus ini berlaku kaidah bahwa yang melihat secara langsung setelah diketahui kejujurannya didahulukan dari yang tidak bisa melihat, bahkan informasi yang tertunda tetap diterima walau hari sudah berjalan.

Dengan demikian jelaslah sebenarnya hisablah yang ditekankan dalam Islam dan diajarkan Rasulullah. Rasulullah telah mengajarkan prinsip-prinsip dasar hisab kepada kaum muslimin saat itu sebagai bahan rujukan bagi generasi sesudahnya, sekaligus memandu bagaimana ilmu hisab itu bisa terwujud dengan digalakkannya ru’yat hilal, yang dari data-data yang ada yang dikumpulkan selama waktu yang panjang, para ulama yang terpanggil dengan seruan Allah bisa mempelajarinya, merumuskannya, lantas mengujinya dan menuangkannya menjadi suatu ilmu yang bermanfaat yaitu ilmu hisab (falak).

Ayat-ayat al-Qur'an ini tidak hanya memandu orang beriman, bahkan juga telah memberi inspirasi dan mendorong orang-orang kafir mempelajari ilmu pengetahuan tentang jagat raya dan mengungkap rahasia-rahasia kebesaran Allah lainnya di alam semesta ini sehingga mereka bisa mencapai pengetahuan dan teknologi seperti yang terjadi sekarang ini.

Dan inilah salah satu hujjah atas orang-orang kafir yang membantah kebenaran al-Qur'an sebagai kalamullah. Namun adakah mereka masih meragukannya, setelah bukti-demi bukti kebenaran al-Qur'an dibukakan dihadapan mereka?

Lalu bagaimana mungkin ada segolongan yang mengatakan beriman dan mau tunduk kepada al-Qur'an dan as-Sunnah justru mengatakan ilmu ini sebagai bagian dari ajaran paganisme? Kalau memang demikian keimanan kepada siapakah yang dianut ketika ungkapan penolakan ini dilontarkan. Ingatlah saudara-saudaraku dan segeralah kalian bertaubat kepada Allah agar kalian diampuni-Nya.

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ(الجاثية: 23)

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

Wahai saudara-saudaraku, berhentilah dari mencaci-caci kebenaran dan menuduhnya sebagai sesuatu yang bid’ah, padahal hati kalian menerimanya. Kalian bertahan hanya karena mengikuti faham orang-orang terdahulu yang belum tentu mereka itu rela untuk diikuti setelah mereka tahu dalam hal ini mereka keliru padahal kalian meyakini mereka adalah orang-orang yang selalu siap kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, janganlah kalian seperti kaum yang disinyalir Allah dalam al-Qur’an:

وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا ءَابَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ(الأعراف: 28)

Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya. Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?

Orang-orang beriman akan bersikap:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ(أل عمران: 135)

Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

APA ALASAN MUHAMMADIYAH MENGGUNAKAN HISAB

Salah satu saat Muhammadiyah menjadi perbincangan adalah ketika menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Pasalnya, Muhammadiyah yang memakai metode hisab terkenal selalu mendahului pemerintah yang memakai metode rukyat dalam menentukan masuknya bulan Qamariah. Hal ini menyebabkan ada kemungkinan 1 Ramadhan dan 1 Syawal versi Muhammadiyah berbeda dengan pemerintah. Dan hal ini pula yang menyebabkan Muhammadiyah banyak menerima kritik, mulai dari tidak patuh pada pemerintah, tidak menjaga ukhuwah Islamiyah, hingga tidak mengikuti Rasullullah Saw yang jelas memakai rukyat al-hilal. Bahkan dari dalam kalangan Muhammadiyah sendiri ada yang belum bisa menerima penggunaan metode hisab ini.
Umumnya, mereka yang tidak dapat menerima hisab karena berpegang pada salah satu hadits yaitu “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan bebukalah (idul fitri) karena melihat hilal pula. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tigapuluh hari” (HR Al Bukhari dan Muslim). Hadits tersebut (dan juga contoh Rasulullah Saw) sangat jelas memerintahkan penggunaan rukyat, hal itulah yang mendasari adanya pandangan bahwa metode hisab adalah suatu bid’ah yang tidak punya referensi pada Rasulullah Saw. Lalu, mengapa Muhammadiyah bersikukuh memakai metode hisab? Berikut adalah alasan-alasan yang  diringkaskan dari makalah Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. yang disampaikan dalam pengajian Ramadhan 1431.H PP Muhammadiyah di Kampus Terpadu UMY.



Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtimak, ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk. Sedangkan argumen mengapa Muhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, adalah sebagai berikut.
Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”. Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr.Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.  Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian system waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita menggunakan hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariahdi kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat”.
Mengapa Muhammadiyah memakai sistem hisab ?
Prinsip yang selalu dianut oleh persyarikatan Muhammadiyah adalah setia mengikuti perkembangan zaman kemajuan sains dan teknologi yang menyelaraskan dengan hukum-hukum Islam. Inilah yang dikenal sebagai tarjih dan pemikiran. Apalagi masalah keumatan khususnya dalam penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal, para ahli hisab Muhammadiyah yang tergabung dalam Majelis Tarjih dan Tajdid telah memberikan pendapatnya kemudian dituangkan dalam surat keputusan pimpinan pusat Muhammadiyah tentang penetapan awal Ramadhan dan Syawal.
Hukum yang ditetapkan Muhammadiyah harus berangkat dari dalil Naqli Al-Qur'an dan As-Sunah Shahihah dan dari acuan pokok tersebut dikembangkan berdasarkan kaedah Ushul Fiqh.
Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan menggunakan sistem hisab hakiki wujudul hilalartinya memperhitungkan adanya hilal pada saat matahari terbenam dan dengan dasar Al-Qur'an Surah Yunus ayat 5 di atas dan Hadis Nabi tentang ru'yah riwayat Bukhari. Memahami hadis tersebut secara taabudi atau gairu ma'qul ma'na/tidak dapat dirasionalkan, tidak dapat diperluas dan dikembangkan sehingga ru'yah hanya dengan mata telanjang tidak boleh pakai kacamata dan teropong dan alat-alat lainnya, hal ini terasa kaku dan sulit direalisasikan. Apalagi daerah tropis yang selalu berawan ketika sore menjelang magrib, jangankan bulan, matahari pun tidak kelihatan sehingga ru'yah mengalami gagal total.
Hadis tersebut kalau diartikan dengan Ta'qul ma'naartinya dapat dirasionalkan maka ru'yah dapat diperluas, dikembangkan melihat bulan tidak terbatas hanya dengan mata telanjang tetapi termasuk semua sarana alat ilmu pengetahuan, astronomi, hisab dan sebagainya.  Sebaliknva dengan memahami bahwa hadis ru'yah itu ta'aquli ma'na maka hadis tersebut akan terjaga dan terjamin relevansinya sampai hari ini, bahkan sampai akhir zaman nanti. Berlainan dengan masalah ibadahnya seperti shalat hari raya, itu tidak dapat dirasionalkan apalagi dikompromikan karena ketentuan tersebut sudah baku dari sunnah Rasul. Tetapi kalau menuju ke arah ibadah itudapat diijtihadi, misalnya berangkat haji ke Mekkah silahkan dengan transportasi yang modern tetapi kalau dalam pelaksanaan hajinya sudah termasuk ibadah harus sesuai dengan sunnah Rasul. Dengan pemahaman semacam ini hukum Islam akan tetap up to date dan selalu tampil untuk menjawab tantangan zaman.
Dengan demikian maka Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan memakai sistem hisab berdasarkan wujudul hilal. Andaikata ketentuan hisab tersebut berbeda dengan pengumuman pemerintah apakah melanggar ketentuan pemerintah? atau dengan melanggar Al-qur'an surah Annisa ayat 59 "Athiullah wa athi'u ar rasul wa ulil amri minkum". Muhammadiyah tidak melanggar  ketentuan pemerintah dalam soal ketaatan beragama sebab pemerintah membuat pengumuman bahwa hari raya tanggal sekian dan bagi umat Islam yang merayakan hari raya berbeda berdasarkan keyakinannya, makadipersilahkan dengan sama-sama menghormatinya. Jadi pemerintah sendiri sudah menyadari dan mengakomodir perbedaan tersebut. Demikian agar semua menjadi maklum.
(Sumber Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah)

Minggu, 15 Januari 2012

THE FOUR FRIENDS

One day, a Mama Ostrich returned home from gathering food for her two dear chicks. She looked and looked for them but could not find them anywhere. Imagine her alarm when she discovered lion tracks around her two-footed chicks' tracks! Fearful but determined to find her babies, she followed the lion tracks.

The tracks led into the woods and finally ended at the den of Mama Lion. In the opening through the cave there lay her own dear chicks in the arms of Mama Lion. The Mama Lion did not want to give the chicks back. She said they were her cubs. Then she challenged Mama Ostrich.

She said to Mama Ostrich that if she can make an animal to look her in the eye and tell her that the chicks are not her cubs, she will give them back to her. Mama Ostrich agreed and set out to her friends to ask for help.

She told all the animals that there is an important meeting and that they should come. Then, when she came to mongoose she told him the story and he said that he had an idea. The I Mongoose told her to make a hole under an anthill, as a second exit. Then, Mama Ostrich did just what the mongoose had told her to do.

The next morning, the entire animals; gathered near the anthill. Then, Mama Ostrich told them the story and asked one of them to stare the Mama Lion in her eyes and say that the chicks were not her cubs. The animals wanted to help her but they didn't want to risk their life. One by one they said that the chicks were her cubs. Mama Ostrich was disappointed that her friends would ' not help her.

When it was the mongoose's turn he said, "Have you ever seen a mama with fur has babies! that have feathers? Think of what you are saying. Mama Lion has fur! The chicks have feathers! They belong to the ostrich!" having said that, Mongoose; jumped down the hole under the anthill, and escaped out the other end.

At once, Mama Lion jumped after him, and when she did so the two ostrich chicks were freed. Mama Lion could not escape from the anthill and had to stay there for a long

A MIRACLE

Sally was only eight years old when she heard Mommy and Daddy talking about her little brother, Georgi. He was very sick and they had done everything they could afford to save his life. Only a very expensive surgery could help him now ... and that was out of the financial question. She heard Daddy say it with a whispered desperation, "Only a miracle can save him now."

Sally went to her bedroom and pulled her piggy bank from its hiding place in the closet. She shook all the change out on the floor and counted it carefully. Three times. The total had to be exactly perfect. No chance here for mistakes. Tying the coins up in an old-weather-kerchief, she slipped out of the apartment and made her way to the corner drug store. She waited patiently for the pharmacist to give her attention. But he was too busy talking to another man to be bothered by an eight-year-old. Sally twisted her feet to make a scuffing noise. She cleared her throat. No good. Finally she took a quarter from its hiding place and banged it on the glass counter. That did it! "And what do you want?" the pharmacist asked in an annoyed tone of voice. 'I’m talking to my brother."

"Well, I want to talk to you about my brother," Sally answered back in the same annoyed tone. "He's sick . . . and I want to buy a miracle."

"I beg your pardon," said the pharmacist. "My Daddy says only a miracle can save him now ... so how much does a miracle cost?" "We don't sell miracles here, little girl. I can't help you."

"Listen, I have the money to pay for it. Just tell me how much it costs."

The well-dressed man stooped down and asked, "What kind of a miracle does your brother need?"

"I don't know," Sally answered. A tear started down her cheek. "I just know he's really sick and Mommy says he needs an operation. But my folks can't pay for it . . . so I have my money.

"How much do you have?" asked the well- dressed man.

"A dollar and eleven cents," Sally answered proudly. "And it's all the money I have in the world."

"Well, what a coincidence," smiled the well-dressed man. A dollar and eleven cents ... the exact price of a miracle to save a little brother.

He took her money in one hand and with the other hand he grasped her mitten and said "Take me to where you live. I want to see your brother and meet your parents

That well dressed man was Dr. Carlton Armstrong, renowned surgeon specializing in solving Georgi's malady. The operation was completed without charge and it wasn’t long until Georgi was home again and doing well.

Mommy and Daddy were happily talking about the chain of events that had led them to this place.

"That surgery," Mommy whispered. "It's like a miracle. I wonder how much it would have cost.

Sally smiled to herself. She knew exactly how much a miracle cost... one dollar and eleven cents... plus the faith of a little child.