Jadi,
Umm al-Qura University (UaQU) sebetulnya telah menyusun kalender Islam
dan telah dipublikasikan beberapa tahun yang lalu. Kriterianya yang
paling baru adalah ternyata “wujudul hilal” dan sangat sesuai dengan
kriteria yang ditetapkan dalam Al Qur'an Surat Ya Sin: 38-40.
Dalam kalender tersebut, 1 Ramadan 1433 lalu telah ditetapkan
bertepatan dengan 20 Juli 2012. Kepastian ini kemudian disyahkan oleh
Majlis al-Qada al-A‘la dalam sidangnya di Taif karena ada saksi yang
bersumpah melihat hilal. Padahal beberapa data astronomi ketinggian
hilal pada maghrib 19 Juli 2012 lalu yang dicatat untuk beberapa kota di
Arab Saudi adalah sebagai berikut (data diambil dari Accurate Times,
dalam satuan derajat):
Jeddah: 1.3
Mekah: 0.9
Madinah: 0.9
Taif: 1.3
Riyadh: 0.7
Kota2 yang lain belum dilihat, tapi diperkirakan di seluruh wilayah
Arab Saudi akan berada di bawah 2 derajat. Di beberapa kota malah jauh
di bawah 2 derajat. Dengan demikian, beberapa catatan penting yang harus
dikemukakan di sini adalah:
Tidak betul bahwa kriteria wujudul
hilal adalah kriteria yang usang seperti yang dikampanyekan oleh
seorang ahli astronomi Indonesia. Kalau melihat perkembangan kriteria
yang dikembangkan oleh UaQU, justru kriteria imkan rukyat adalah yang
usang dan telah ditinggalkan hamper 40 tahun lalu.
Kriteria minimum 2
derajat itu ternyata tidak memiliki dasar. Kalau memang Rasul
menghendaki ini, mengapa beliau tidak memberikan batasan ketinggian
Bulan “sepenggalah” seperti minimum ketinggian Matahari sebagai syarat
sholat dhuha? Mengapa umat Islam berani menambahi syarat minimum 2
derajat?
Beberapa organisasi besar seperti Islamic Society of
North America (ISNA), Fiqh Council of North America (FCNA), dan European
Council for Fatwa and Research (ECFR) yang dipimpin oleh ulama besar
Mesir Prof. Yusuf Qaradawi dan banyak lagi (di 47 negara atau 61%)
menyatakan “follow Saudi”.
Siapakah ISNA dan FCNA?
Dr. Shaukat yang memimpin moonsighting.com (lihat tulisan seri pertama)
dulunya adalah konsultan bagi ISNA dan FCNA ketika mereka memulai proyek
eksperimen untuk melakukan rukyatul hilal di Amerika Utara (AS dan
Kanada). Proyek ini dilakukan pertama kali pada 1994 dengan menyebar
sekitar 2000 relawan perukyat ke seluruh Amerika Utara setiap bulan
untuk melakukan rukyat. Harapannya, dengan hasil rukyat akan dapat
disusun sebuah database model untuk kehadiran hilal berdasarkan rukyah.
Sementara itu, ISNA dan FCNA terus dikejar oleh keperluan memperjuangkan
agar umat Islam di Amerika memperoleh hak libur untuk melaksanakan
ibadahnya (missal: sholat Iedul Fitri).
Katakanlah ada 200
pekerja Islam di Boeing, 300 di Microsoft, dan ribuan lagi di industri
yang lain, atau bahkan di pemerintahan Amerika. Saat mereka meminta izin
libur terkait dengan Iedul Fitri, mereka selalu ditolak karena:
Pertama, permintaan izin dilakukan beberapa minggu atau bulan sebelumnya.
Kedua, tidak ada kepastian tanggalnya karena kepastian hanya dapat dipeoleh ketika hilal telah kelihatan.
Bagaimana mungkin di sebuah organisasi modern dengan jadwal delivery
produk yang sangat ketat, tiba2 ratusan orang minta libur dengan
mendadak, dan tidak pasti hari dan tanggalnya?
Setelah 13 tahun
melakukan riset ekperimental rukyatul hilal ini, maka pada 13 Agustus
2006, FCNA mengeluarkan fatwa bahwa kalender Islam harus dibuat
berdasarkan perhitungan astronomi, dan kriteria yang dipakai adalah
wujudul hilal, persis seperti yang dimiliki oleh UaQU. Jadi sangat wajar
kalau ISNA dan FCNA kemudian menyatakan “follow Saudi” meskpun mereka
memiliki hasil perhitungan sendiri yang sama akuratnya dengan hasil
UaQU.
Ketika fatwa FCNA ini dikeluarkan, muncullah hujatan dari
seluruh penjuru dunia dengan mengatakan: “ini Fatwa Syetan”, dll. FCNA
tidak bergeming dan terus mengkampanyekan pentingnya kalender Islam
untuk kehidupan umat Islam Amerika sampai sekarang.
Dan jerih
payah ISNA dan FCNA ini telah berbuah manis dengan diakuinya Ramadan
sebagai bulan suci umat Islam oleh Kongres Amerika pada 5 September
2007, hanya setahun setelah fatwa FCNA yang dihujat sebagai "Fatwa
Syetan" itu. Ini merupakan langkah penting dalam sejarah umat Islam di
Amerika (lihat gambar).
Jadi kepastian hukumlah sebetulnya
sumber persatuan. Persatuan dengan pemaksaan kehendak oleh penguasa
seperti hasil sidang Istbat hanyalah persatuan yang semu.
Pertanyaannya, mengapa justru Indonesia tidak belajar saja dari
kegagalan dan keberhasilan sudara2 kita seperti di Amerika ini? Mengapa
malah kita kemudian kembali ke square one. Padahal tingkat kesulitan
melihat hilal di negara tropis seperti Indonesia akan jauh lebih tinggi.
Akankah kita menghabiskan waktu puluhan tahun untuk sampai pada suatu
kesimpulan seperti ISNA dan FCNA: tidak mungkin memperoleh kepastian
penyusunan kalender Islam dengan rukyah.
Jadi pada pendapat
saya, perpecahan umat Islam itu justru karena tidak adanya kepastian
kalender Islam, yang berarti tidak ada kepastian hukum. Dan penyebabnya
karena kita ngotot untuk merukyah. Saya tidak tahu apa landasan hukum
yang mendasari Departemen Agama untuk melakukan Sidang Istbat ini?
Kalender adalah domain hukum, bukan domain kebijakan publik. Mengapa
eksekutif mengambil posisi untuk menentukan sesuatu yang di luar domain
kekuasaannya? Jadi sebelum ada masyarakat yang mem PTUN kan Departemen
Agama, sebaiknya sidang Istbat itu dihentikan saja. Jikapun telah ada
landasan hukumnya, masyarakat tetap dapat mengajukan uji materi atas
perundangan ini ke Mahkamah Konstitusi, demi menghindari power abuse
Tidak ada komentar:
Posting Komentar