Kaum Muda Muhammadiyah tengah menebak – nebak, apa
yang terjadi jika kedua tokoh Muhammadiyah itu saling berhadapan. Siapa lebih
tangguh? siapa lebih banyak pendukung, dan bagaimana sidang Tanwir nanti berjalan?
Kedua tokoh yang saling berhadapan itu ialah Buya Hamka dan K.H. Farid Ma’ruf.
“Kami yang muda–muda tidak sabar akan kedatangan sidang tanwir itu. Kami sangat
antusias untuk menyaksikan kedua tokoh itu berdebat di atas mimbar. Tak sabar
seperti menanti pertarungan antara Muhammad Ali melawan Joe Frazier“, kenangan
pak Djarnawi dalam tulisan menyambut 70 tahun Buya Hamka yang menjadi sumber
tulisan ini.
Ketegangan memang terasa di kalangan Muhammadiyah.
Terutama pada tingkat pimpinan. Bukan hanya tegang, Pak Djarnawi melukiskan, “Pada
tahun 1960, terjadi kehebohan di Muhammadiyah“. Penyebabanya, pak Moelyadi
Djoyomartono diangkat Bung Karno sebagai Menteri Sosial. Padahal, hubungan
Muhammadiyah dengan Bung Karno sedang memburuk menyusul pembubaran Masyumi. Terjadi
Pro Kontra. Yang mendukung pak Moelyadi sebagai mensos adalah pak Farid Ma’ruf.
Beliau punya alasan, semua untuk Muhammadiyah, bukan untuk diri sendiri. Yang
tidak setuju menganggap, menerima jabatan itu berarti Muhammadiyah bertekuk
lutut di kaki Soekarno.
Terjadi ketegangan yang merata dari Pusat sampai
Daerah. Dalam suasana ini, lahirlah rumusan kepribadian Muhammadiyah. Ini puncak
dari kegelisahan Fakih Usman terjadi ketidakharmonisan saat itu. Puncaknya,
Hamka menulis di harian Abadi berjudul, Maka pecahlah Muhammadiyah. Hamka
menyatakan, ada dua golongan dalam Pimpinan Pusat yaitu golongan istana dan
luar istana. Hamka menyebut Farid Ma’ruf sebagai golongan istana karena selalu
berusaha membawa Muhammadiyah ke Istana. Pengaruh tulisan Hamka sangat besar.
Sebab, beliau tokoh Muhammadiyah, mubalig kenamaan, dan pengarang terkenal.
Apalagi harian abadi saat itu tercatat sebagai Koran besar yang beredar sampai
kepelosok tanah air. Buntutnya, sebagian besar orang Muhammadiyah menyudutkan
Farid Ma’ruf dan Moelyadi. Dalam sidang tanwir di Gedoeng Muhammadiyah
Yogyakarta, Hamka dipersilahkan tampil ke mimbar lebih dulu untuk menjelaskan
tulisannya di harian Abadi, sekaligus sebagai pertanggungjawaban. Semua
menunggu. Hamka berdiri tenang. Wajah dan matanya berbicara lebih dulu dari
pada bibirnya. Tiba – tiba, pelupuk mata Hamka penuh air mata. Dengan suara tersendat, Hamka mengakui bahwa jika
perasaannya tersentuh segera tangannya mencari pulpen lalu menulis. Semua yang
di tulis di harian Abadi bermaksud baik, didorong cintanya pada Muhammadiyah.
Namun, jika tulisan itu menyinggung perasaan Farid Ma’ruf yang sangat
dicintainya, Hamka menyatakan sangat menyesal, mohon ampun dan maaf kepada
Farid Ma’ruf.
Giliran Farid Ma’ruf tampil. Ia ke mimbar dengan membawa
map berisi berkas – berkas sebagai pertahanan karena mengira Hamka akan
menyerangnya bertubi–tubi. Dia juga siap memberi serangan balasan. Di mimbar,
Farid lama terdiam. Sikap Hamka sama sekali tidak diduganya. Tidak menyerang,
malah minta ampun kepadanya di depan umum. Map yang dibawa akhirnya tidak
dibuka. Dengan suara datar dan wajah tenang. Farid menyatakan, kesediaan pak
Moel menerima jabatan Mensos adalah dengan niat baik demi Muhammadiyah, yaitu
membantu amal sosial Muhammadiyah. Menurut Farid, kondisi sekarang masih tetap
diperlukan kerja sama Muhammadiyah dengan Pemerintah. Perbedaan antara dia
dengan Hamka sama–sama didorong niat baik. Jika pendirianya dinyatakan salah
dan dikhawatirkan membawa Muhammadiyah ke Istana, Farid berujar, “Maka dengan
ikhlas saya mengundurkan diri dari Pimpinan Pusat….”
Belum lagi kalimat Farid selesai, Hamka berdiri dan mengacungkan tangan. “ Pimpinan!”, serunya, “Jangan saudara Farid mundur. Kita sangat membutuhkan dia. Saya, Hamka yang harus mundur….”. Mendengar itu, Farid menghentikan pidatonya. Ia lalu turun menuju Hamka. Hamka pun menyongsong Farid. Keduanya lalu berpelukan dengan air mata bercucuran. Semua tertengun. Lalu menyusul ucapan hamdalah, tepuk tangan, dan ada yang bertakbir. Persoalan selesai. Sidang tanwir terus berjalan membicarakan agenda lain.
Belum lagi kalimat Farid selesai, Hamka berdiri dan mengacungkan tangan. “ Pimpinan!”, serunya, “Jangan saudara Farid mundur. Kita sangat membutuhkan dia. Saya, Hamka yang harus mundur….”. Mendengar itu, Farid menghentikan pidatonya. Ia lalu turun menuju Hamka. Hamka pun menyongsong Farid. Keduanya lalu berpelukan dengan air mata bercucuran. Semua tertengun. Lalu menyusul ucapan hamdalah, tepuk tangan, dan ada yang bertakbir. Persoalan selesai. Sidang tanwir terus berjalan membicarakan agenda lain.
Setelah itu muncul berita di harian Abadi berjudul,
Muhammadiyah Tidak Pecah!. Alangkah indahnya dinamika dalam Muhammadiyah yang
dicontohkan para pendahulu. Sesungguhnya, perbedaan pendapat selalu ada. Yang
berbeda cara menyikapinya. Dulu, diselesaikan dengan sikap dewasa, dengan
ikhlas hati, tidak mengedepankan harga diri (bukan kepentingan pribadi)., dan
mengutamakan kepentingan persyarikatan. Mengapa sekarang perbedaan mudah
menyulut perpecahan? Karena kita sering seakan membela Muhammadiyah, padahal
sesungguhnya membela harga diri (kepentingan pribadi). Ketulusan kita sering
semu karena kepentingan tersembunyi. Mudah membesar–besarkan hal kecil. Itulah
sikap kekanak–kanakan. Soal Jabatan dan harga diri adalah sumber pertikaian
paling sering dalam persyarikatan. Rukun
dan damai dalam keindahan itu tidak sulit asal ada kemauan, begitu kata
Al–Qur’an “Jika keduanya menghendaki kerukunan, Allah akan membukakan jalan
kepada mereka”. (Qs. An-Nisa’[4] : 35 (af)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar