Minggu, 29 Mei 2016

Sejarah SMA Muhammadiyah Cirebon

    Menapaki Jejak Sejarah SMA Muhammadiyah Cirebon: Dari Teras Percetakan Lima ke Sekolah Unggul Berprestasi

        Sejarah besar selalu berawal dari langkah kecil. Begitu pula kisah berdirinya SMA Muhammadiyah Cirebon—sebuah lembaga pendidikan yang menjadi saksi tumbuhnya semangat pembaruan Islam dan pendidikan di Kota Cirebon.

       Semua bermula pada 21 Juli 1954. Kala itu, sejumlah tokoh Muhammadiyah berkumpul di teras atas Gedung Percetakan Lima di Jalan Siliwangi, Cirebon. Mereka adalah H. Ahmad Dasoeki, H. Djadjuli, H. Roeslani, Bumita Sastradiredja, dan Sutisna Sastradiredja. Rapat sederhana itu menjadi tonggak lahirnya SMA Muhammadiyah Cirebon.

           Tidak butuh waktu lama. Tepat tanggal 1 Agustus 1954, SMA Muhammadiyah mulai beroperasi dengan dua jurusan: Jurusan B (Eksakta) dan Jurusan C (Ekonomi). Saat itu, sekolah baru memiliki 80 siswa dengan Bumita Sastradiredja—yang juga Ketua Panitia Pendirian—sebagai kepala sekolah pertamanya.

      Langkah Awal dan Perjuangan Fisik Bangunan

        Pada 18 November 1954, sekolah ini resmi diakui oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Majelis Pengajaran dan Kebudayaan yang diwakili oleh Bapak Sarjono. Lokasinya berada di Jalan Bahagia Cirebon, menyatu dengan SMP Muhammadiyah.

    Antusiasme masyarakat pun tumbuh. Tahun 1955–1957, jumlah siswa meningkat signifikan. Pada Ujian Akhir Negara, SMA Muhammadiyah mencatatkan hasil membanggakan: 80 siswa lulus dari jurusan Eksakta dan 94 siswa dari jurusan Ekonomi.

  Menyadari pentingnya kemandirian fasilitas, pada tahun 1959 sekolah berupaya membangun gedung sendiri di Jalan Tuparev. Upaya ini didukung oleh PGA Negeri melalui kerja sama dengan Sutisna Sastradiredja. Bantuan dari Departemen Agama RI berhasil mewujudkan 14 ruang kelas, rumah pamong, dan mushola yang rampung tahun 1960.

      Masa Keemasan dan Tantangan

     Periode 1957–1965 ditandai dengan disiplin tinggi yang menjadi budaya sekolah. Disiplin inilah yang mendasari tingginya tingkat kelulusan—bahkan mencapai 100%. Namun, pada 1965–1967, sekolah menghadapi tantangan penyusutan siswa akibat bertambahnya kebutuhan ruang untuk PGAN.

        Tahun 1967 menjadi titik transisi kepemimpinan. Bumita Sastradiredja diangkat menjadi Kepala SMA Negeri 2 Cirebon, dan posisinya digantikan oleh Drs. Enang Ruchiyat, SH. Di tangan beliau, banyak inovasi lahir: pelajaran Bahasa Arab dijadikan wajib, dan kegiatan Masa Penghayatan Pendidikan (MPP) mulai digalakkan.

    Tahun 1975, tongkat estafet kepemimpinan beralih ke Drs. Amang Abdurachman Abdullah. Selama 13 tahun memimpin, beliau menghadirkan berbagai perubahan: dari kurikulum, sistem pembelajaran, hingga seragam sekolah yang berubah dari hijau-putih menjadi abu-abu-putih, serta kewajiban berkerudung bagi siswa perempuan.

          Perluasan Peran dan Akreditasi

   Tak hanya fokus pada SMA, sekolah ini juga menjadi tempat bagi lembaga-lembaga pendidikan lain: STM Muhammadiyah (1976), SPK (1980), dan SMF Muhammadiyah, yang semuanya berbagi gedung dengan SMA Muhammadiyah.

       Puncaknya, pada 17 Januari 1985, sekolah ini meningkat statusnya menjadi Sekolah Tipe B dengan 24 kelas dan 1200 siswa. Akreditasi pun naik: dari subsidi menjadi status “disamakan” melalui SK Dirjen Pendidikan Dasar Menengah No. 007/C/Kep/1985.

   Kepemimpinan pun berganti. Setelah Drs. Amang, datang Fahmy Dahlan sebagai pejabat sementara yang mampu mempertahankan akreditasi sekolah. Lalu pada 1990, estafet diambil oleh Bapak Tukiyat Hardisucipto, BA, alumnus SMAM 1950. Beliau membentuk UKGK (Usaha Kesejahteraan Guru dan Karyawan) dan memperluas jumlah kelas menjadi 31 Kelas.

     Modernisasi dan Inovasi

      Tanggal 1 Desember 1998, sekolah dipimpin oleh Sugiarto Slamet, BA, juga alumni SMAM. Di masa ini, sekolah mulai bertransformasi fisik: pembangunan gedung bertingkat, pengembangan mushola berkapasitas 800 jamaah, dan berdirinya Marching Band Gita Swara.

      Tahun 2001, sekolah dipimpin oleh tokoh seni budaya Muhammadiyah, Drs. Agus Hidayat. Ia memperkenalkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan membangun KRIDA, pusat pengembangan kecerdasan siswa. SMA Muhammadiyah Cirebon meraih predikat Akreditasi A dan penghargaan sebagai Sekolah Unggul Jawa Barat.

      Setelahnya, kepemimpinan sempat dipegang oleh Drs. H. Nedi Sunedi selama tiga bulan, lalu diteruskan oleh Drs. Mohammad Alfan (2008–2012), kemudian Drs. Rumiyanto (2012–2016), dan masuk pada fase baru yang tidak kalah penting.

     Era Modern: Renovasi dan Sekolah Berasrama

  Tahun 2017–2021, tongkat kepemimpinan dipegang oleh Arofah Firdaus, S.Pd., M.M. Di masa ini, SMA Muhammadiyah Cirebon memasuki era pembenahan menyeluruh. 6 ruang kelas dan 1 ruang kepala sekolah direnovasi dengan struktur atap baja ringan. Dua ruang kelas baru dibangun di lantai dua. Bahkan untuk menarik minat siswa, sekolah membuka kelas boarding school—sekolah berasrama yang membina karakter dan kemandirian siswa.

      Lokasi Strategis dan Masa Depan Cerah

     Kini, SMA Muhammadiyah Cirebon beralamat di Jl. Tujuh Pahlawan Revolusi No. 70, Kecamatan Kedawung, Cirebon. Terletak di tengah komplek pelajar yang strategis, berdekatan dengan pertokoan, perkantoran, dan jalur kendaraan umum, sekolah ini mudah diakses dari kota maupun kabupaten.

       Dengan fasilitas yang lengkap dan komitmen yang kuat terhadap pendidikan Islami dan kemajuan, SMA Muhammadiyah Cirebon tidak hanya menjadi lembaga pendidikan, tetapi juga rumah bagi generasi masa depan yang unggul, berakhlak, dan siap berkontribusi untuk bangsa dan agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar