Minggu, 12 Desember 2010

Memahami arti Salaf secara arif

Umat Islam jangan cepat tergoda dengan istilah baru. Meski maknanya bagus, tapi justru sering menyesatkan. Seperti istilah salaf yang banyak muncul kini.

Belakangan ini ada kesilap-pahaman dalam memahami makna salaf. Orang biasanya menyamakan dengan tasaluf, berlagak seperti salaf. Misalnya orang-orang yang berlagak mengikuti salaf dengan bersorban, berpakaian serba putih, berjenggot, dan beribadah dengan seketat-ketatnya dan semurni-murninya. Katanya mengikuti umat Islam generasi salaf terdahulu.

Kata salaf secara lughawi semakna dengan kata qobla yang berarti sebelum atau yang lampau. Kata ini sering dilawankan dengan khalaf, yang berarti belakangan. Dalam perkembangannya makna Salaf menyempit untuk menyebut suatu babakan histories tertentu dalam sejarah Islam yang berwenang memberi legitimasi ajaran Islam atas kurun dan sesudahnya.

Menurut Dr. Muhammad Said Ramadan al-Buthi, otoritas tersebut hanyalah melekat pada tiga generasi awal Islam, yakni para Sahabat, Tabiin, dan Tabiit Tabiin. Pemahaman Muhammad Said Ramadan tersebut mungkin banyak diilhami oleh sabda Nabi, “Sebaik-baik kurun adalah masa saya, kemudian yang mengikutinya, lalu yang mengikutinya.

Pandangan seperti ini cukup mendasar. Soal perioda tersebut memang sangat dekat dengan kehidupan Nabi Muhammad SAW. Beliau merupakan sumber otoritas doktrin-doktrin Islam yang kemudian dituangkan dalam AlQuran dan Hadits.

Sudah selayaknya jika generasi sahabat pendamping setia Nabi, lebih banyak mendengar langsung ajaran Islam dari beliau. Bahkan menyaksikan langsung segenap derap langkah dan grak-gerik Nabi, sehingga otoritas mereka tidak diragukan lagi. Hal serupa dapat pula kita temukan pada generasi tabiin, dan generasi Tabiit Tabiin.

Namun demikian, dalam perjalanan sejarahnya, umat Iskam terbelah dalam partai-partai politik atau firoq Al Islamiah. Ini mengarah pada munculnya sekte-sekte dalam teologi. Tragedi ini membawa dampak yang serius bagi karakteristik SALAf. Mau tidak mau fanatisme kelompok dan aliran menjadi pegangan masing-masing individu umat Islam.

Jelas, hal ini mematahkan kadar obyektivitas dan keutuhan mereka dalam menyikapi otoritas salaf. Dalam pandangan kelompok jumhur Ulama, yakni kalangan Sunni generasi Tabiit Tabiin dan para pengikutnya, para khalifah yang empat semuanya memiliki otoritas salaf.

Salaf adalah Islam Nusantara , Bukan Wahabi

Ada beda pengertian antara arti salaf seperti yang datang dari Timur Tengah, dan arti Salaf yang lahir dari khazanah dan kekayaan Islam Nusantara

Umat Islam tentu tidak ingin terpecah-pecah. Meski berbeda-beda tapi tidaklah seharusnya membawa perpecahan . NU dan Muhammadiyah misalnya, adalah asset umat Islam Nusantara. Mereka lah pembentuk karakter keislaman tanah air.

Kita tahu dalam sejarah , perjuangan melawan penjajan dilakukan oleh para ulamadan guru-guru agama. Ketika itu organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah ikut dalam perjuangan politik membawa masing- masing aspirasi untuk komunitas dan Jamaahnya, dan juga kemaslahatan untuk bangsa dan Negara.

Tentu, ada gesekan antara keduanya, apalagi dipanas-panasi oleh kemunculan orang-orang berjenggotdari Timur Tengah. Mereka membawa bendera “Salafi”. Sesuai dengan pengertian yang mereka terimadari paham wahabi. Mereka menjadika NU dan Muhammadiyah sebagai target sasaran. Mereka menganggap Muhammadiyah tidak lagi puritan dan ti\idak lagi murni. Sementara NU dianggap oleh mereka banyak melakukan Bid’ah, khurafat dan kemusyrikan.

Dan tidak hanya itu, untuk memperlemah kekuatannya, Nu dan Muhammadiyah diadu-domba. Sehingga mereka bertengkardalam masalah yang sepele, seperti masalah qunut dan Tarowih. Oleh Karen itu kita patut menyambut baik inisiatif yang bagus sekali dari pimpinan NU dan Muhammadiyahyang berupaya menyatukan langkah dalam membela dan melindungi umat. Sadar akan bahaya terhadap masa depan dunia Islam, NU dan Muhammadiyah bertekad menyatukan langkah untuk membangun Indonesia dan Islam yang maju, kuat dan solid.

Ada dua prinsip dasar yang membuat Pak Hasyim Muzadi dan Pak Din Syamsudin bertemu beberapa waktu yang lalu untuk menyatukan langkah tesebut. Pertama, prinsip tegas akan pentingnya menegakan kerukunan social dan kesatuan nasional. Kedua, sikap politik luar negri bangsa kita yang bebas dan aktif serta menolak segala bentuk ketundukan dan campur tangan asing dalam bentuk apapun.

Ikatan persatuan ini pernah diupayakan oleh sejumlah ulama yang mendirikan NU pada tahun 1926. Waktu itu, mereka menghadapi tantangan global; kebangkitan fundamentalisme agama dalam baju wahabi dan puritanisme, serta kolonialisme Belanda yang menjarah kekayaan bangsa muslim serta memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Kelompok pertama mengancam kelestarian dan kelangsungan cara beragamayang berorientasi madzhab, serta merusak keberlangsungan tatanan budaya bangsa yang plural. Sementara yang kedua mengancam kelangsungan umat Islam sebagai sebuah bangsa yang dipersatukan oleh ikatan tanah air tempat mereka lahir dan berpijak.

Oleh karena itu, menghadapi konteks global sekarang ini, dua ormas Islam terbesar di Indonesia menjadi contoh dari dua bentuk paham keagamaan “salafi” yang tetap menjaga persatuan, meski berbeda. NU dikenal dengan kumpulan para ulama dan kiai pesantren yang berwatak nasionalis dan membela bangsa ini. Sementara Muhammadiyah adalah himpunan para arsitek dan menejer professional yang cakap mengurus kegiatan amal sosial

Tidak ada komentar:

Posting Komentar