Jumat, 18 Februari 2011

Din dan Kritik di Muhammadiyah

BANYAK pihak berspekulasi bahwa sikap kritis Din Syamsuddin, ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, terhadap pemerintah didasarkan pada kalkulasi politik tertentu. Di antaranya, beredar pandangan yang menyatakan bahwa sikap kritis itu dimaksudkan sebagai investasi politik untuk meraih kekuasaan pada Pemilu 2014.

Tentu saja analisis seperti itu tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Sebab, dalam politik, semua serba mungkin. Apalagi, dunia politik juga selalu menghadirkan kejutan. Tetapi, melihat kiprah seseorang hanya dalam sudut pandang politik juga tidak dapat dibenarkan.

Sebagai insider, saya tentu memahami sikap kritis Din tersebut dalam konteks sedang menerjemahkan rumusan politik kebangsaan Muhammadiyah. Rumusan konsep politik kebangsaan itu tertuang dalam dokumen resmi organisasi yang telah diundangkan Muhammadiyah. Keputusan resmi organisasi jelas memberikan amanat agar Muhammadiyah senantiasa berkiprah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Posisi kritik Din akhir-akhir ini memang terasa menonjol. Apalagi, Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah sering dijadikan pertemuan sejumlah kelompok kritis dan oposisi. Yang mutakhir tentu saja adalah pertemuan tokoh lintas agama yang menghasilkan ikrar tahun tanpa kebohongan. Bermula dari pertemuan itulah, gerakan anti kebohongan yang disuarakan berbagai kelompok terus menggelinding.

Dalam berbagai kesempatan, Din memberikan klarifikasi bahwa pertemuan tokoh lintas agama itu sesungguhnya kegiatan Maarif Institute (LSM yang di dirikan Buya Syafii Maarif). Jadi, sebenarnya tidak ada hubungannya dengan aktivitas Muhammadiyah.

Tetapi, karena tempat acaranya di Muhammadiyah, Din pun disorot dan dianggap penggagas gerakan anti kebohongan. Itulah risiko bagi seorang ketua organisasi sosial keagamaan. Dalam perkembangannya, sorotan tidak hanya ditujukan kepada Din secara pribadi, tapi juga Muhammadiyah. Bahkan, ada yang menduga, sikap kritis itu muncul ka rena Presiden SBY tidak menghadiri muktamar Muhammadiyah. Tentu saja spekulasi tersebut tidak benar jika orang memahami sifat gerakan Muhammadiyah.

Muhammadiyah adalah organisasi keagamaan yang menekankan ajaran dakwah amar makruf nahi munkar. Karena itu, berbagai kritik yang diutarakan Din harus dipahami dalam konteks melaksanakan dakwah amar makruf dan nahi munkar.

Sejauh ini Muhammadiyah sudah membuktikan selalu mendukung pemerintah, siapa pun yang berkuasa, asalkan berada dalam jalan yang benar.

Sebaliknya, jika pemerintah melakukan kesalahan, Muhammadiyah tidak pernah ragu untuk mengingatkan. Itulah cara Muhammadiyah untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Muhammadiyah memahami bahwa berkiprah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat diwujudkan melalui dua jalur. Pertama, lewat kegiatan politik praktis sebagaimana dijalankan partai-partai politik. Kedua, melalui kegiatan ke masyarakatan dalam bentuk pemberdayaan dan pembinaan.

Manifestasi jalur kedua itu juga dapat ditempuh dengan cara politik tidak langsung. Misalnya, memengaruhi kebijakan pemerintah melalui perjuangan moral (moral for ce) agar tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan cita-cita luhur bangsa. Strategi perjuangan itulah yang disebut dengan politik tingkat tinggi (high politics).

***

Dalam usia lebih dari seabad, Muhammadiyah konsisten menentukan pilihan perjuangan politik melalui jalur high politics. Manifestasi high politics itu mengharuskan Muhammadiyah menjaga jarak yang sama dengan semua organisasi politik. Pilihan strategi tersebut membawa risiko karena Muhammadiyah tidak memiliki saluran utama dalam menyuarakan aspirasi politik.

Tetapi, sejauh ini Muhammadiyah masih dapat menitipkan aspirasi melalui kadernya yang bertebaran di beberapa partai politik. Persoalan menjadi kompleks tatkala sebagian besar partai politik mengambil sikap mendukung pemerintah dengan kompensasi mendapatkan bagian kekuasaan. Kultur politik seperti itu jelas membahayakan masa depan demokrasi.

Jika peran checks and balances tidak dapat dimainkan dengan baik oleh partai politik dan lembaga politik formal di negara, kekuatan organisasi sosial keagamaan sebagai salah satu pilar civil society dapat menjadi alternatif. Dalam konteks itulah Muhammadiyah terpanggil untuk turut mengawal perjalanan bangsa agar terwujud kehidupan yang lebih baik dalam bermasyarakat dan bernegara.

Tampaknya, posisi itulah yang sedang dimainkan Din. Banyak pihak berspekulasi bahwa gerakan kritis yang sedang didorong Din telah masuk ranah politik praktis.

Spekulasi itu kemudian dikaitkan dengan latar belakang Din yang pernah memimpin Departemen Penelitian dan Pengembangan Partai Golkar. Jalan pikiran itu memang efektif untuk memojokkan gerakan moral yang kini sedang terjadi.

Namun, agar terhindar dari polemik mengenai adanya politisasi terhadap gerakan kritis tersebut, semua pihak –terutama pemerintah– seharusnya mencermati substansi kritik yang telah di kumandangkan berbagai pihak. Berbagai kritik tersebut harus diposisikan sebagai bentuk kecintaan dan kerinduan para pengkritik terhadap negeri ini.

Din sebagai pemimpin salah satu organisasi sosial keagamaan jelas sangat merindukan keadaan negeri yang bebas dari berbagai problem. Bagi Din, kalau bangsa ini terus terpuruk, yang akan menderita adalah rakyat.

Jika itu yang terjadi, Muhammadiyah sebagai bagian dari bangsa ini juga pasti terkena dampaknya. Peringatan akademisi yang beranggota rektor dari perguruan tinggi negeri dan swasta mengenai potensi Indonesia untuk menjadi negara gagal patut menjadi perhatian (JP, 5/2). Agar keadaan tidak semakin memburuk, pemerintah tidak boleh menutup mata dan telinga terhadap berbagai kritik konstruktif. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar